Hutang Politik Pasca Pilkada

Dr. Helmi, S.H., M.H.

Sejak era reformasi dan otonomi daerah, mekanisme Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) telah mengalami pergeseran, dari pemilihan oleh DPRD (1999-2004) berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan pemilihan langsung oleh rakyat (2004-Sekarang) berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Benarkah perubahan ini meningkatkan kualitas demokrasi Daerah? Bernarkah menghasilkan kepemimpinan daerah yang memberikan perubahan dan dampak yang berarti bagi kesejahteraan rakyat di daerah? Menjawab kedua pertanyaan tersebut tentu terkait erat dengan peran para pihak yang terlibat dalam proses Pilkada, prosesnya, dan pasca Pilkada yakni ketika Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih melaksanakan tugasnya.

Masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, para pihak yang terlibat yakni DPRD, Calon KDH/Wakil KDH, tim sukses, penyandang dana atau Donatur.  Yang dimaksud dengan penyandang dana disini adalah mereka yang memberikan modal atau dana kepada pasangan calon untuk mengikuti suksesi. Walaupun secara kasat mata donatur seolah-olah tidak tampak, namun dia sesungguhnya ada. Sementara pada Pilkada langsung berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 para pihak yang terlibat lebih banyak lagi, yakni; Partai Politik, DPRD, Komisi Pemilihan Umum Daerah, Panitia Pengawas Pemilu Daerah, Calon KDH/Wakil KDH, tim sukses, penyandang dana atau donatur dan rakyat pemilih.

Tim sukses dan donatur dalam proses Pilkada, baik pemilihan oleh DPRD maupun pemilihan langsung oleh rakyat ternyata tetap ada dan berperan penting. Untuk memenangkan calon yang dijagokan, donatur bersedia mengucurkan dana. Sementara tim sukses sebagai perancang dan melaksanakan strategi pemenangan terutama berbekal dana yang dikucurkan oleh donatur.

Pilkada berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, DPRD berperan lebih dominan, karena lembaga inilah satu-satunya institusi formal yang berwenang untuk menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah. Sekaligus yang melakukan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kucuran dana dari donatur terutama diperuntukkan bagi anggota DPRD. Dalam melancarkan niatnya, Donatur tidak melakukan secara langsung. Tapi dengan perantara tim sukses yang telah dibentuk oleh Pasangan Calon Kepala Daerah. Tim sukses berbekal dana segar adalah pasukan berani mati dan berani malu dalam melancarkan aksi-aksinya agar Calon yang didukung sukses menjadi penguasa di Kabupaten, Kota atau Provinsi. Tim sukses melakukan loby sana-sini dengan cara menjanjikan, memberikan sejumlah uang kepada partai politik, fraksi dan anggota DPRD agar mau memilih pasangan calon yang mereka dukung. Bahkan kadangkala disertai dengan ancaman kepada Anggota Dewan. Muncul pula istilah pada tahap ini adalah penculikan atau karantina terhadap anggota dewan yang sudah cocok harga. Misalnya untuk 250 Juta rupiah setiap anggota dewan, untuk Gubernur/Wakil Gubernur  atau 100 juta untuk Wali Kota/Wakil Walikota, Bupati/Wakil Bupati. Bahkan dibeberapa daerah justeru nilainya dua kalilipat lebih tinggi. Inilah praktek politik uang yang terjadi pada masa diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999.

Pada Pilkada langsung oleh rakyat berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, sesungguhnya  praktek politik uang masih ada. Bahkan cenderung lebih parah dan dana yang dikucurkan harus lebih banyak. Untuk pencalonan yang konon berkisar 300-400 juta rupiah harus dibayar oleh pasangan calon kepada partai politik, istilahnya untuk membeli perahu. Dana tersebut digunakan untuk biaya pendekatan ke partai (lobi-lobi ke fungsionaris partai), biaya pendaftaran ke partai, dan biaya penyaringan dalam partai (uji kelayakan dan kepatutan dalam konvensi). Bila terpilih menjadi nomine, dana yang dikeluarkan makin banyak, mulai dari biaya kampanye. Sampai nantinya ketika pasangan calon terpilih akan dilantik, juga harus mengeluarkan dana ekstra. Kepada DPRD pun, pasangan calon harus mengeluarkan uang pengaman, agar mereka tidak berulah. Apalagi calon yang berasal dari pejabat. Walhasil untuk pemilihan Bupati/Walikota saja dibutuhkan dana tidak kurang dari 7 milyar rupiah. KPUD dan Panitia Pengawas tidak bisa berbuat banyak, karena praktek ini sangat sulit dibuktikan.

Begitu besarnya dana yang harus dikeluarkan, maka peran donatur dan tim sukses sangat menentukan pemenangan Pilkada. Mereka sangat dibutuhkan oleh pasangan calon untuk bahu membahu melancarkan politik uang dalam Pilkada langsung.

Hutang Politis sebagai dampak Pilkada

Praktek suskesi semacam ini ternyata telah menimbulkan dampak negatif, paling tidak selama 5 tahun, terutama setelah terpilihnya Kepala Daerah. Peran donatur dan tim harus dibayar mahal oleh penguasa terpilih. Istilah yang saya gunakan “hutang politik yang harus dibayar oleh si jago ketika sudah duduk sebagai Kepala Daerah”. Ada komitmen tertentu yang harus dilaksanakan. Komitmen inilah yang kemudian menjadi jaminan bagi penyandang dana sehingga mau mengucurkan uang milyaran rupiah. Dan bagi tim sukses sehingga mau bersusah payah merancang dan melaksanakan strategi pemenangan calon.

Biasanya donatur berasal dari kalangan pengusaha. Cara membayarnya bukan dengan sejumlah uang, tapi dilakukan melalui berbagai kebijakan daerah yang mengutamakan kepentingan Donatur, bahkan dengan penyimpangan sekalipun. Bagi yang bidang usahanya industri bidang kehutanan, tidak heran jika kita menyaksikan bagaimana merajelelanya praktek pengrusakan hutan alam, taman nasional, hutan lindung untuk mengambil kayu. Atau Donatur yang kontraktor bangunan/jalan, maka terjadilah praktek penunjukan langsung atas proyek milyaran rupiah yang semestinya dilakukan melalui prosedur tender terbuka. Tidak heran pula, jika muncul berbagai Peraturan Daerah yang hanya menguntungkan pihak tertentu saja.

Kepada tim sukses yang telah susah payah berjuang. Biasanya imbalan yang harus diberikan hampir sama dengan apa yang diberikan kepada donatur. Bahkan terkadang lebih parah lagi. Para mantan tim suses ini secara tidak langsung “menjadi atasannya KDH”, mekeka menjadi pembisik, bahkan menentukan kebijakan, jalannya pemerintahan dan pembangunan di daerah tersebut. Adapula diantara mereka yang kemudian menjadi Kepala Dinas walaupun tidak memenuhi kapasitas. Akibatnya tentu bisa dibayangkan bagaimana pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Karena dipimpin dan dilaksanakan oleh orang-orang yang tidak layak.

Tentu saja dampaknya dampak akhir terjadi penindasan atas hak-hak masyarakat. Jalur partisipasi menjadi buntu dan sengaja disumbat. Karena sepanjang kepemimpinan sang Bupati, Walikota atau Gubernur habis hanya untuk membayar hutan-hutang politik kepada Tim Sukses dan Donatur. Proses Pilkada terbukti menimbulkan dampak negatif dan ongkos politik yang sangat mahal bagi daerah.

Bagaimana kedepan?

Pemilihan Bupati, Walikota dan Gubernur secara langsung oleh rakyat memang merupakan pilihan yang tepat.  Namun demikian diperlukan perbaikan dalam proses. Tepat kiranya rencana pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi dan pengaturan terpisah tentang pilkada dari UU No. 32 Tahun 2004.

Adapun yang perlu menjadi perhatian, yakni; pertama, pencalonan. Hendaknya menutup seminimal mungkin terjadi pembelian perahu oleh Calon kepada Partai Politik dengan cara membuka peluang pencalonan secara individu dari kalangan akademisi dan profesional. Misalnya seperti model pencalonan dan pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kenyataan banyak tokoh masyarakat yang secara individual mempunyai kemampuan, namun karena tidak punya afiliasi dengan partai, justeru tidak bisa tampil. Kedua, adanya mekanisme uji publik terhadap bakal calon yang dilakukan oleh pihak independent. Pihak independent ini dibentuk oleh KPUD setempat melalui mekanisme yang demokratis. Ketiga, calon diwajibkan melakukan kontrak politik dengan rakyat pemilih. Dan kontrak politik tersebut harus dilaksanakan oleh calon apabila dia terpilih. Jika tidak dilaksanakan, maka Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang bersangkutan dapat dituntut oleh rakyat di Pengadilan atau diproses secara politik oleh DPRD. Sehingga kontrak politik bukan lagi sekedar basa-basi pada saat kampanye.

Akhirnya pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan pilihan dan proses politik menuju kehidupan yang lebih demokratis dan bertanggungjawab. Karena Pemilu KDH secara langsung ditujukan guna memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan daerah dengan baik. Semoga…. (Dosen FH. Univ. Jambi)

  1. Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar